Fitrah Seksualitas #Day7

Posted: September 29, 2018 in Uncategorized

MENGGALI PENYEBAB RUSAKNYA FITRAH SEKSUALITAS ANAK

Faktor Internal:

1. Membiarkan anak mengakses internet dan media elektonik lainnya tanpa pendampingan.

Kemampuan orang tua untuk menyediakan berbagai fasilitas alat komunikasi canggih bagi anak-anak mereka sering kali tidak sepadan dengan kemampuan dan perhatian orang tua dalam memproteksi anak-anak dari potensi negatif yang ditimbulkannya. Bagi sebagian orang tua, kemampuan menyediakan fasilitas komunikasi terkini laiknya smartphone atau gadget justru menjadi ajang pamer sekaligus upaya menunjukkan eksistensi untuk menegaskan kelas sosial-ekonomi mereka sebagai orang tua yang mapan secara ekonomi.

Mereka lupa bahwa fasilitas yang diberikan itu tak ubahnya pisau bermata dua (two edges knife), yang tak hanya memudahkan anak-anak mereka mudah bersosialisasi dengan teman sebayanya, tetapi juga berpotensi menikam mereka dari belakang akibat intensitasnya mengeksplorasi isi materi dunia maya yang tidak mendidik. Melalui alat-alat komunikasi super canggih itu, anak-anak akan terjembatani untuk mengeksplorasi persoalan-persoalan sensitif, yang secara materi barangkali tidak tepat atau belum sesuai dengan jenjang umur dan level kedewasaan mereka.

2. Kurangnya peran ayah dan Ibu karena kesibukan masing-masing

Mendidik Fitrah Seksualitas adalah merawat, membangkitkan dan menumbuhkan fitrah sesuai gendernya, yaitu bagaimana seorang lelaki berfikir, bersikap, bertindak, merasa sebagaimana lelaki Juga bagaimana seorang perempuan berfikir, bersikap, bertindak, merasa sebagai seorang perempuan.

Prinsip 1 : Fitrah Seksualitas memerlukan kehadiran, kedekatan, kelekatan Ayah dan Ibu secara utuh dan seimbang sejak anak lahir sampai usia aqilbaligh (15 tahun).

Prinsip 2 : Ayah berperan memberikan Suplai Maskulinitas dan Ibu berperan memberikan Suplai Femininitas secara seimbang. Anak lelaki memerlukan 75% suplai maskulinitas dan 25% suplai feminitas. Anak perempuan memerlukan suplai femininitas 75% dan suplai maskulinitas 25%.

Prinsip 3 : Mendidik Fitrah seksualitas sehingga tumbuh indah paripurna akan berujung kepada tercapainya Peran Keayahan Sejati bagi anak lelaki dan Peran Keibuan sejati bagi anak perempuan. Buahnya berupa adab mulia kepada pasangan dan anak keturunan. (Santosa, Hary. 2017)

Untuk mencapai ketiga prinsip tersebut, dibutuhkan peran aktif ayah dan Ibu dalam mewujudkannya.

Pada prinsip pertama misalnya, fitrah seksualitas memerlukan kehadiran, kedekatan, kelekatan Ayah dan Ibu secara utuh dan seimbang. Maksudnya adalah Ayah dan Ibu harus membersamai anak seutuhnya, bukan hanya bersama dengan anak tetapi hati dan pikiran tidak seutuhnya bersama anak, seperti membersamai anak sambil main hape misalnya atau sambil melakukan pekerjaan lainnya.

Sedangkan pada prinsip kedua, Ayah berperan memberikan Duplai Maskulinitas dan Ibu berperan memberikan Suplai Feminitas secara seimbang. Bagaimana jika salah satu atau keduanya telah tiada? Maka harus ada pengganti yang sesuai untuk memberikan suplai tersebut agar fitrah seksualitasnya terpenuhi sehingga tidak terjadi penyimpangan social

Dan buah dari kedua prinsip tersebut dapat dilihat dari adab mulia mereka nanti kepada pasangannya dan anak keturunannya. Ketika peran keayahan sejati pada anak lelaki dan peran keibuan sejati pada anak perempuan tercapai, maka artinya fitrah seksualitas telah tumbuh dengan baik dan paripurna. Tetapi ketika peran tersebut tidak tercapai, artinya fitrah seksualitasnya tidak terpenuhi dengan baik dari kedua orang tuanya.

3. Inner child orang tua yg belum selesai

Inner Child 👶👧 adalah sosok anak kecil yang berada di dalam diri kita (Ego Personality). Inner child ada yang baik dan ada juga yang memang negatif atau trauma. Inner child dalam diri kita sebetulnya bisa bertumbuh dewasa sesuai usia dan pengalaman yang kita hadapi, hanya kadangkala ketika inner child negatif yang muncul dan sangat memberikan trauma butuh kesadaran penuh untuk mengenalinya dan kemudian berdamai.

Dalam pernikahan biasanya inner child muncul di satu tahun pertama, sosok kecil suami atau istri tanpa disadari muncul dengan perwujudan seperti:

👉 Istri yang semasa kecil jarang dibersamai oleh orang tuanya dan merasa kesepian sering menginginkan suaminya selalu ada di dekatnya, marah ketika suami memberikan perhatian pada keluarganya, dan ingin perhatian suami hanya kepada istrinya saja, padahal bisa jadi suami sebetulnya sudah sangat baik pada sang istri.

👉 Suami yang semasa kecil diperlakukan keras oleh kedua orang tuanya atau oleh sanak saudaranya tanpa disadari melakukan KDRT pada istrinya.

👉 Anak memecahkan piring atau merusak barang, tanpa disadari kita tiba-tiba memukul atau membentaknya.

Jika dari ketiga kasus yang di atas kemudian ada penyesalan setelah melakukannya, tapi diulang lagi dan lagi, bisa dipastikan itu inner child negatif.

Jadi, bedanya itu inner child atau karakter adalah dari rasa penyesalan yang timbul. Orang tua yg memiliki inner child yg negatif ato “menyakitkan” tentu akan berpengaruh pada cara ato pola asuhnya kepada anak2nya.

Pola asuh dengan inner child yg negatif tentu akan mengganggu tumbuh kembang anak tuk sesuai dengan fitrah.

Masih ingat dg quotes “children see children do”?

4. Kurangnya wawasan orang tua dalam mendidik anak sesuai fitrahnya

Di tengah carut marut pendidikan dan pekatnya kerusakan generasi, mereka tampil bagai kesejukan di padang sahara, bak bintang di langit yang menerangi. Mereka padahal orangtua yang biasa saja, tiada yang istimewa, hanya saja mereka adalah para orangtua yang sadar dan berani kembali kepada fitrah peran sejati untuk mendidik anak anak mereka sendiri. Para orangtua hebat ini umumnya bukan psikolog, bukan ahli pendidikan, bukan terapist, juga bukan berlatar belakang ilmu pendidikan.

Benarlah janji Allah, bahwa Allah akan memampukan mereka yang menyambut panggilanNya. RAISE YOUR CHILD, RAISE YOURSELVES.

Beberapa karakteristik mereka adalah

1. Menyambut panggilan Allah dengan ikhlash sehingga Allah berikan banyak hikmah untuk mendidik anak anaknya dan kembali mensyukuri potensi potensi fitrah dirinya dan tentu juga anak anaknya.

2. Tiada kata terlambat. Tertatih awalnya, bukan tanpa perjuangan menaklukan ketidak percayaan diri sendiri namun semakin lama semakin Allah mudahkan, semakin terkuak banyak misteri keindahan fitrah anak anaknya dan dirinya. Semakin seru dan bahagia menjalaninya.

3. Ikhlash berbagi idea, cerita, pengalaman, hikmah baik tulisan bahkan dalam bentuk buku, tentang hikmah yang mereka peroleh sepanjang perjalanannya merawat dan mendidik fitrah anak anak mereka.

4. Rajin belajar bersama dan berkolaborasi dalam komunitas dengan saling menasehati dalam kebenaran, keshabaran dan kasih sayang dalam peran mendidik. Mereka menyadari bahwa perlu berjamaah untuk memunculkan generasi dengan peran peran terbaik dan akhlak mulia.

5. Hikmah untuk tiap anak. Yakin bahwa merekalah yang terbaik bagi anak anaknya. Ilmu mereka barangkali bisa setara S3 dalam mendidik anak anaknya, karena diperoleh dari pengalaman nyata. Ingatlah bahwa tiada ahli parenting terbaik bagi anak anak kita, kecuali kita orangtuanya, karena Allah telah karuniakan hikmah yang banyak sekadar dan setara amanah yang diberikan.

6. Syukur dan shabar. Walau demikian, mereka tetaplah orangtua biasa yang bukan tanpa masalah dan kadang gelisah tetapi kini gelisahnya bukan karena lebay obsesif atau lalai pesimis, tetapi kegelisahan yang membuat mereka terus mendekat dan bersyukur atas semua potensi fitrah (jalan sukses) serta memohonkan doa pada Allah (kunci sukses) agar dimudahkan jalannya serta bershabar berinovasi menjalani peran sejatinya dengan terus belajar dan beramal (cara sukses).

7. Ubah cara pandang. Mereka memandang anak mereka sebagai karunia terindah, amanah terbaik, sahabat tercinta, kesempatan mengembalikan fitrah diri, mega proyek melahirkan generasi dengan peran terbaik untuk menjadi khalifah di muka bumi sehingga Allah ridha, dstnya. Bukankah Allah telah instal fitrah baik dalam diri anak anak mereka disamping hikmah yang banyak?

8. Rileks dan Optimis. Dengan cara pandang di atas, mereka semakin rileks dan optimis sebagai pertanda hamba yang yakin dan bersyukur, mereka semakin asik belajar dan berinovasi sebagai pertanda hamba yang istiqomah dan shabar. Hampir semua problematika anak selalu bisa diselesaikan dengan dimulai dari tenang dan optimis, sehingga bisa jernih melihat dan mendengar, merasa dan menghayati problematika kemudian menemukan pola untuk ditemukan solusi terbaiknya tanpa menciderai fitrah keduanya.

Wahai para Orangtua, jadilah bagian dari kabar dan pertanda baik bahwa dari rumah dan komunitas kita akan muncul generasi baru, generasi anak anak kita yang kelak jauh lebih baik dalam peran dan lebih mulia dalam akhlak sesuai fitrahnya. Semakin banyak orangtua hebat semakin baik generasi mendatang. InshaAllah.

5. Timpang dalam proses mendidik anak.

Penyimpangan seksualitas sangat beragam, kasusnya tidak hanya terjadi di kalangan manusia liberal namun juga terjadi pada kalangan manusia religius, karena setiap aspek fitrah adalah keniscayaan bagi manusia yang perlu disalurkan dan mendapat perhatian untuk dididik.

Ketika anak lelaki mendapat suplai feminitas dari Ibu berlebihan sedangkan suplai maskulinitas dari Ayahnya kurang, maka dia akan mengalami penyimpangan fitrah seksualitasnya misalnya menjadikan si anak lelaki tersebut “melambai” atau cenderung homo atau paling tidak berkurang kejantanannya. Pun anak perempuan yang mendapatkan suplai maskulinitas berlebih dari Ayahnya dibandingkan dengan suplai Feminitas dari Ibunya maka akan menjadikan si anak perempuan tersebut tomboy atau cenderung lesbi atau berkurang feminitasnya.

Lalu, bagaimana cara mendidik fitrah seksualitas yang baik?

Inti mendidik fitrah seksualitas adalah terbangunnya kelekatan antara anak dan orang tua serta Adanya suplai keayahan dan suplai keibuan secara seimbang tanpa adanya ketimpangan.

6. Orang tua merasa taboo dalam menjelaskan seksualitas pada anak

Di pendidikan menengah, pelajaran soal anatomi manusia memang pernah saya terima pada awal 2000-an, tetapi tidak cukup menjawab banyak pertanyaan lain soal reproduksi karena hanya sekelumit saja yang disampaikan guru dan dalam buku teks sekolah. Bertanya pada Bapak, Ibu, atau Kakak tidak pernah jadi pilihan karena kadung takut dimarahi ketika membahas hal itu. Membicarakannya dengan teman malah bisa jadi menggelikan atau memicu kecanggungan.

Contoh : saat sedang menonton tv lalu ada adegan ciuman, spontan pasti remote dimatikan ato mata anak disuruh nutup ato ditutupi. Padahal dengan begitu anak justru malah jd penasaran dan bingung.

Juga kasus saat anak kecil asik bermain dg alat kelaminnya sendiri lalu dibiarkan dengan alasan “masih kecil”

Mayoritas orang tua di Indonesia masih menganggap tabu dan tidak patut untuk menerapkan pendidikan seks kepada anak-anak mereka. Namun justru hal tersebut seharusnya perlu diubah.

Dalam hal ini, seorang psikolog Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Ratri Sunar Astuti mengatakan bahwa pendidikan seks pada anak merupakan tugas sekaligus tanggung jawab orang tua, sedangkan lembaga pendidikan atau lainnya hanya sebagai unit pendukung saja.

seiring dengan cepatnya kematangan seksual anak, tetapi pendampingan orang tua secara intensif lemah dan mudahnya akses informasi melalui media internet,” jelasnya.

Menurut Pakar Bimbingan Konseling Universitas Sanata Dharma (USD) Maria Margaretha Sri Hastuti pendidikan seks dirancang untuk mendampingi anak memperoleh pemahaman yang tepat tentang perkembangan seksual dirinya serta perkembangan pribadi dan sosial.

“Pemahaman yang tepat tentang seks dan seksualitas akan menjadi kekuatan sekaligus benteng bagi anak dari usaha-usaha pelecehan dan kekerasan seksual,” katanya.

Faktor External

1. Tinggal pada lingkungan yg tinggi tingkat pelencengan seksualitas

Setiap individu memiliki latar belakang kehidupan yang berbeda maka hal tersebut akan menyebabkan terbentuknya pola-pola perilaku yang berlainan. Tidak semua individu mampu mengidentifikasi diri dengan nilai dan norma yang berlaku di dalam masyarakat. Hal ini berarti gagalnya proses sosialisasi sehingga cenderung menerapkan pola-pola perilaku yang salah dan menyimpang

Menurut pendapat Shaw, Mckay dan mcDonal (1938), menemukan bahwa di kampung-kampung yang berantakan dan tidak terorganisasi secara baik, perilaku jahat merupakan pola perilaku yang normal dan wajar.

Dalam proses sosialisasi yang sangat berperan adalah agents of sosialization atau pihak-pihak yang melaksanakan sosialisasi. Adapun agen-agen sosialisasi terdiri atas :

a. keluarga,

b. sekolah,

c. kelompok pergaulan, dan

d. media massa.

Para agen sosialisasi menyampaikan pesan-pesan yang berbeda antara orang tua dengan lainnya. Hal-hal yang diajarkan oleh keluarga mungkin berbeda dengan yang disampaikan oleh agen di sekolah. Contoh: Perilaku yang dilarang oleh keluarga dan sekolah, seperti penyalahgunaan narkoba, pelecehan seksual, membolos, merokok, berkelahi, dan lain-lain diperoleh dari agen sosialisasi, kelompok pergaulan dan media massa.

Proses sosialisasi seolah-olah tidak sempurna karena tidak sepadan antara agen sosialisasi satu dengan yang lain. Proses sosialisasi yang tidak sempurna antara lain disebabkan oleh :

Terjadinya disorganisasi keluarga yaitu perpecahan dalam keluarga sebagai satu unit, karena anggota keluarga gagal dalam memenuhi kewajibannya yang sesuai dengan perannya. Dan peperangan.

Dalam proses sosialisasi, seseorang mungkin dipengaruhi oleh nilai-nilai subkebudayaan yang menyimpang, sehingga terbentuklah perilaku menyimpang. Contoh : seorang anak dibesarkan pada lingkungan yang menganggap perbuatan minum-minuman keras, pelacuran, dan perkelahian sebagai hal yang biasa, maka anak tersebut akan melakukan perbuatan menyimpang yang serupa. Menurut ukuran masyarakat luas, perbuatan anak tersebut jelas bertentangan dengan norma-norma yang berlaku, maka perbuatan anak tersebut dapat dikategorikan menyimpang.

Apabila pelanggaran sudah dianggap biasa, karena toleransinya pengawasan sosial, penyimpangan itu akhirnya menjadi konformitas. Contoh: perbuatan menyuap seakan-akan menjadi konformitas, dan perbuatan siswa mencontek pada waktu ulangan.

2. Pembiaran masyarakat pada masalah sosial yang terjadi di lingkungannya

Semua Berawal dari Virus Pembiaran

Parahnya kondisi akhlak masyarakat, terutama’ generasi mudanya, bisa jadi bermula dari adanya pembiaran dari kita. Ya, pembiaran dalam arti tidak adanya atau minimnya peneguran terhadap berbagai kesalahan kecil atau besar yang terjadi di hadapan kita.

Oknum orang tua membiarkan anaknya berbuat kesalahan. Oknum guru membiarkan muridnya melakukan pelanggaran. Oknum tokoh panutan agama membiarkan ummat menyimpang dari rel agama. Oknum aparat pemerintahan membiarkan rakyatnya melanggar aturan.

Fenomena sikap cuek dan kekurangpedulian inilah awal dari bencana besar yang kita rasakan saat ini. Wajarlah bilamana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpesan,

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَان

“Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka rubahlah dengan tangannya. Bila tidak mampu, maka dengan lisannya. Bila tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan itu adalah tingkat keimanan terlemah”. HR. Muslim dari Abu Sa’id radhiyallahu’anhu.

Pembedaan cara pengingkaran mulai dari tangan, lisan, hingga hati ini, dikembalikan kepada kemampuan dan kapasitas masing-masing kita.

Tidak membiarkan kemungkaran yang terjadi di depan mata kita, adalah sumber kebahagiaan dunia dan akhirat. Sebaliknya, pembiaran kemungkaran adalah sebab kesengsaraan dunia dan akhirat.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan,

مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلاَّ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ

“Siapapun yang mendapatkan amanah dari Allah untuk mengurus rakyat, lalu dia meninggal dalam keadaan khianat terhadap rakyat, pasti Allah akan haramkan baginya surga”. HR. Muslim dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu.

Beliau juga bersabda,

ثَلَاثَةٌ قَدْ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِمُ الْجَنَّةَ: مُدْمِنُ الْخَمْرِ، وَالْعَاقُّ، وَالدَّيُّوثُ، الَّذِي يُقِرُّ فِي أَهْلِهِ الْخَبَثَ

“Tiga jenis manusia yang diharamkan Allah masuk surga. (1). Pecandu minuman keras. (2). Orang yang durhaka (kepada orang tuanya). (3). Orang tua dayyuts. Yakni yang membiarkan perbuatan dosa dilakukan oleh anggota keluarganya”. HR. Ahmad dan sanadnya dinilai sahih oleh al-Hakim.

Sebagai contoh maraknya lagu2 berbau pornoaksi atau dengan kata2 yg kurang baik kemudian dinyanyikan oleh anak2 yg mungkin mereka belum paham akan hal tersebut namun tidak ada orang tua dan orang dewasa yg mengingatkan.

Pentingnya kita sebagai muslim berbuat nyata menjadi problem solving minimal dalam lingkungan keluarga, apalagi untuk lingkungan masyarakat. Menghadirkan alternatif2 hiburan, pendidikan yg lebih bermanfaat san berakhlak terutama bagi generasi muda.

3. Kerancuan pola asuh yg kadang dialami oleh keluarga yg tinggal dalam lingkungan keluarga besar

Menurut Theresia Ceti Prameswari Psi, psikolog dari LPTUI, mempercayakan pengasuhan si kecil kepada kakek-nenek (grandparenting), di satu sisi memang menguntungkan. Kakek-nenek menjadi salah satu sumber bantuan, dukungan, dan dorongan. Mereka selalu tahu apa yang harus dilakukan jika cucunya tidak enak badan, tidak mau makan, tidak bersendawa, menangis, dan sebagainya. Masalah kasih sayang juga tak diragukan lagi. Mereka dengan sepenuh hati akan memberikan yang terbaik bagi cucunya.

Namun, kadang campur tangan kakek-nenek dalam pengasuhan anak, sering melanggar peraturan yang orangtua terapkan untuk mendisiplinkan anak.

Orang tua memang dituntut untuk menjadi pengasuh dan pendidik utama anak. Namun, ketika kakek-nenek harus ikut berperan dalam pengasuhan anak, pola asuh yang diterapkan biasanya cenderung permisif (lebih banyak memberikan keleluasaan kepada si anak untuk melakukan apa yang dikehendaki dan mendapatkan apa yang diinginkan).

Misal :

– menentukan pilihan tontonan di televisi. Bagi kakek nenek yg terpenting film kartun bukan sinetron. Padahal sekarang ini beberapa film kartun pun sudah disisipi pesan yg tidak sesuai seperti LGBT pada film Disney junior, SpongeBob dll

Selain itu, perbedaan pola asuh antara orangtua dan kakek-nenek, baik langsung maupun tidak langsung akan berdampak pada kemandirian anak. Misalnya, anak akan menjadi kurang mandiri dalam menyelesaikan tugas-tugas hariannya seperti makan, mandi, atau kurang mandiri dalam menyelesaikan masalah.

Hal ini dikhawatirkan akan menyebabkan si anak memiliki kecenderungan negatif. Bisa jadi si anak akan membantah perintah orangtua dengan berlindung pada kakek dan neneknya. Selain itu kemampuan anak dalam mengekspresikan emosinya juga terkadang menjadi kurang tepat, misalnya mudah merengek, merajuk, serta kurang percaya diri.

Nenek atau kakek biasanya kurang tegas dan kurang dapat menolak permintaan cucunya. Kalau mereka terlalu memanjakan si anak maka pola asuh yang sudah ada akan membuat si anak bingung. Oleh karena itu orangtua seharusnya memiliki keberanian untuk berbicara dengan kakek-nenek mengenai permasalahan pola asuh yang tepat.

DAFTAR REFERENSI

Leave a comment