Archive for the ‘Cermin’ Category

Permisifisme

Posted: March 28, 2010 in Cermin

Pada masa-nya, mungkin, kata “malu” sudah tak lagi dapat ditemukan pada kamus manapun juga. Sebab telah hilang rasa malu sehingga banyak orang yang merasa bangga akan kemaksiatan yang diperbuatnya, dan menceritakannya pada orang lain.. permisifisme…

Lihat saja, betapa mudahnya akses yang bisa digunakan untuk bersikap permisif. Salah satunya, media internet. Bila disandarkan pada masa lalu, mungkin orang masih segan untuk melakukan pose yang begitu mesra dengan pasangannya, celaan, hinaan, bahkan rajaman akan ditumpahkan pada mereka yang hanya sekali saja ketahuan bertemu dengan pasangannya. Namun sekarang hal itu bisa anda temui kapan saja, dan dimana saja.

Hal ini layaknya pemeo yang bertendensi untuk menjatuhkan kehormatan bagi orang2 yang mau berfikir. Tapi sayang, kebanyakan orang malah cenderung untuk tidak menggubris nasehat atau parahnya lagi tidak memperdulikan akibat dari apa yang mereka perbuat. Benarkah kiranya apabila media yang harusnya bermanfaat ini malah dijadikan untuk memamerkan kenistaan?? Situs jejaring sosial digandrungi karena dapat menyebarluaskan fakta yang sedang dirasa tidak peduli apakah sifatnya umum atau sangat pribadi [bukan mencari komunitas sosial atau pertemanan], bahkan blog yang harusnya sebagai media pengasah cakrawala berpikir malah digunakan untuk mengumbar sesuatu yang privacy dan tidak layak diketahui oleh orang lain. Then, where did you put your mind anyway?

Memang, disadari atau tidak, manusia jelas memiliki sifat ‘pamer’, kadarnya tinggi atau tidak, itu tergantung pada kemampuan manusia itu untuk menahan diri dari nafsu syawat (godaan, bukan hanya seks –red).

“Setiap umatku akan mendapat ampunan kecuali yang terang-terangan (berbuat kemaksiatan).” (HR Bukhari)

Well, how about you guys? You aren’t a permissive person, are you?
I believe you’re NOT!! ^^

Bernalar lebih jauh…

Posted: September 25, 2009 in Cermin

“Setiap orang berhak atas masa lalu dan harapan ke depan masing-masing dengan berproses menjadi sesuatu yang lebih baik tanpa kejumudan berpikir. Tidak ada seorangpun juga yang (menjadi seolah) berkewajiban memiliki hak atas orang lain tersebut” (Cahyo Seftyono, a friend of mine)

Kata-kata ini seakan merefleksikan apa yang ada padaku sekarang. Penat aku ditarik-tarik untuk memenuhi permintaan yang aku menolak untuk meng-iya-kannya. Sederhanaku seakan-akan menjadi barometer yang tidak pantas apabila disandingkan dengan realita saat ini. Tapi apa yang menjadi sandaranku bukanlah saat dimana aku ada sekarang, melainkan saat dimana aku sendiri tinggal tanpa apa-apa dan tanpa siapa-siapa. Dan bilamana aku dikacaukan dengan pemikiran yang mengatakan bahwa harta adalah satu-satunya jaminan dan jabatan adalah satu-satunya nafas yang harus dihirup. Maka aku katakan itu semua: DANGKAL!

Aku akan ta’at pada mereka yang mengatakan kebenaran walaupun pahit. Kebenaran selayaknya apa? Selayaknya apa yang dikatakan Allah dan RasulNya. Kebenaran yang bertendensi menomor satukan yang haq diatas segala-galanya. Bukan privillage dalam kenyamanan bersendawa dan hura-hura. Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah (wafat th. 751 H) v menjelaskan perbedaan antara ilmu dengan harta:

[1]. Ilmu adalah warisan para Nabi, sedang harta adalah warisan para raja dan orang kaya.
[2]. Ilmu menjaga pemiliknya, sedang pemilik harta menjaga hartanya.
[3]. Ilmu adalah penguasa atas harta, sedang harta tidak berkuasa atas ilmu.
[4]. Harta bisa habis dengan sebab dibelanjakan, sedangkan ilmu justru bertambah dengan diajarkan.
[5]. Pemilik harta jika telah meninggal dunia, ia berpisah dengan hartanya, sedangkan ilmu mengiringinya masuk ke dalam kubur bersama para pemiliknya.
[6]. Harta bisa didapatkan oleh siapa saja, baik orang ber-iman, kafir, orang shalih dan orang jahat, sedangkan ilmu yang bermanfaat hanya didapatkan oleh orang yang beriman saja.
[7]. Sesungguhnya jiwa menjadi lebih mulia dan bersih dengan mendapatkan ilmu, itulah kesempurnaan diri dan kemuliaannya. Sedangkan hartatidak membersihkan dirinya, tidak pula menambahkan sifat kesempurnaan dirinya, malah jiwanya menjadi berkurang dan kikir dengan mengumpulkan harta  dan menginginkannya. Jadi keinginannya kepada ilmu adalah inti kesempurnaan-nya dan keinginannya kepada harta adalah ketidak-sempurnaan dirinya.
[8]. Sesungguhnya mencintai ilmu dan mencarinya adalah akar seluruh ketaatan, sedangkan mencintai harta dan dunia adalah akar berbagai kesalahan.
[9]. Sesungguhnya orang berilmu mengajak manusia kepada Allah Azza wa Jalla dengan ilmunya dan akhlaknya, sedangkan orang kaya mengajak manusia ke Neraka dengan harta dan sikapnya.
[10]. Sesungguhnya yang dihasilkan dengan kekayaan harta adalah kelezatan binatang. Jika pemiliknya mencari kelezatan dengan mengumpulkannya, itulah kelezatan ilusi. Jika pemiliknya mengumpulkan dengan mengguna-kannya untuk memenuhi kebutuhan syahwatnya, itulah kelezatan binatang. Sedangkan kelezatan ilmu, ia adalah kelezatan akal plus ruhani yang mirip dengan kelezatan para Malaikat dan kegembiraan mereka. Di antara kedua kelezatan tersebut (kelezatan harta dan ilmu) terdapat perbedaan yang sangat mencolok.

[Sumber: Mensyukuri Nikmat Islam Yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala Karuniakan Kepada Kita http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=671&bagian=0 ]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Tidak boleh taat kepada seseorang dalam berbuat maksiat kepada Allah” [Hadits Riwayat Ahmad]


Dan aku tetap mempertahankan hak untuk memilih apa yang baik dengan tidak berlepas dari koridor yang Allah ridhoi serta takdirNya dan tidak membiarkan orang lain (seakan-akan) mengusung hak-nya diatas hak-ku dan menjadikannya kewajiban untuk menyanggupinya padahal itu bathil.

“Allahumma laa sahla illa maa ja’altahu sahlan wa anta taj’alulhazna idzaa syi’ta sahlan”

“Yaa Allah, tidak ada kemudahan kecuali apa yang Engkau jadikan mudah. Sedang yang sudah bisa Engkau jadikan mudah, apabila Engkau menghendakinya..” [HR. Ibnu Hibban]

Wallahu’alam

Saat aku tidak tidur..

Posted: September 24, 2009 in Cermin

Bismillahirrahmanirrahim…

Malam ini, aku tak bisa tidur…

Terusik oleh rintihan yang berasal dari dalam pikirku…

Ilusi ku melihat mereka yang mengais debu hingga teristimewakan rasa laparnya, melihat mereka menguras setetes air dari wadah sisa yang kian tandas…

Tidak, ini sama sekali bukan ilusi… tetapi realitas hidup yang mereka emban tanpa bisa menolak… dan lagi-lagi aku melihatnya, siang tadi…

Sebelumnya, maaf… kawan… aku menulis ini bukan ingin mengentaskan pola pikir kawan semua, aku sendiri belum menerima pembelajaran hidup yang maksimal… tapi saat ini aku ingin mencoba membuka mata pada sisi nyata kehidupan. Karena di satu sudut di mana anda berpijak, bisa dipastikan, ada segumulan saudara kita yang tak bisa bermanja di luar sana. Sedang bermain dalam rimba hidup yang kejam. Politik alam yang menjatuhkan diri. Mereka butuh cinta kita…

Belum lagi pantas rasanya aku merasakan kenikmatan yang begitu melimpah di rasa  manis oleh badaniahku. Duuhh.. malu rasanya aku merengek pada mama untuk mengganti ponsel atau saat aku ingin mengubek-ngubek outlet Bandung di bulan Juni… lantas teringat aku pada prosentase dualitas hidup yang teramat anjlok… satu sisi penuh dengan kemewahan, dan yang lainnya… penuh… kesengsaraan…

Hhhh…

Rasa nya perih lambung ini mengingat saudaraku termangu dalam kosongnya tatapan, sehingga aku terjaga sebagai tumpuan konsep kemanusiaan. Yaa.. aku.. yang bahkan dalam hidup bisa terhitung baru berapa kali aku mengucap syukur…

Subhanallah…. betapa Kau telah penuhi segala urusanku dengan kemudahan yang sebaik-baiknya…

Selain daripadanya, kepatutanku untuk terbangun dikarenakan sesuatu yang seringkali membuat kantung mataku perih, seperti ada yang mendesak-desak untuk keluar, hingga mengalir dan aku pun puas…

Tapi sayang, tak pernah bisa ia mengalir lagi, setidaknya untuk saat ini. Karena semakin lama dipikir, semakin aku menyadari, apa gunanya menangis bila kau tidak bisa membuat perubahan?? Perubahan pada sesuatu yang lazim di temui di masa sekarang ini?? Perubahan beresiko tinggi hingga memungkinkan aku terlempar dari komunitas yang membesarkan diri??

Namun, yaaa.. secuil apapun perubahan itu jelas dapat membuat lubang do’a menjadi ternganga. Semoga…

“Sesungguhnya manusia apabila melihat kemungkaran, kemudian tidak merubahnya, maka hampir-hampir Allah menimpakan azab dari-Nya kepada mereka semua”. (H.R. Ahmad dimusnadnya dari Abi Bakr, dishohihkan oleh Syeikh Al-Albani di kitab Shohih Al Jami , no: 1974, juz; 1/ 398.)

Saat sekarang ini, bila aku melihat media pada sudut keharuan, bisa dipastikan aku langsung meringis. Perih melihat jasad terbaring payah tanpa ada ruh yang mengisi. Alasannya bisa apapun, pembunuhan, pemerkosaan, perampokan…. dan afiks pe-an lainnya yang bisa membuatku menegangkan syaraf secara tiba-tiba.

Langsung saja emosi ku berada pada radius yang tidak normal. Aku marah, sedih, kecewa pada apa-apa yang tak mengerti kasih sayang. Pada apa-apa yang begitu haus darah sehingga karib pun hilang nyawa. Pada apa-apa yang memuja keserakahan dan merampas harta orang lain dengan hina. Pada apa-apa yang TIDAK mengerti apa-apa!!!

Tapi lalu aku merenung kembali, mengingat selentingan ‘reminder’ yang di lantunkan oleh Syeikh Islam Ibnu Taimiyah rahimuhullah, mengutip firman Allah Azza  wa Jalla…

“Dan janganlah sekali kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorongmu” (Q.S Al-Maidah:8)

Di dalam ayat ini, beliau menilik satu faedah bahwasanya janganlah melampaui batas yang telah disyariatkan terhadap pelaku maksiat, dengan sikap berlebih-lebihan dalam membenci dan menghina, atau melarang dan menghajar ( mengisolir ) atau menghukumi mereka. Akan tetapi dikatakan kepada orang bersikap yang melampaui batas terhadap mereka itu, “Uruslah dirimu sendiri, orang yang sesat tidak akan memudharatkanmu, selama  kamu telah mendapat petunjuk…”

Maka kuatkanlah diri kita, pada kekukuhan iman yang sejati… ketetapan taqwa pada Allah semata…

Selain itu, beliau juga mengungkapkan hendaklah kita sebagai insan yang berakal selalu melaksanakan amar maruf nahi mungkar dalam batas yang disyariatkan Ad-Dien, Al-Islam, yaitu berilmu, lemah-lembut, sabar, dan niat yang baik serta menempuh jalan tengah (meletakkan sesuatu pada tempatnya).

Berilmu.. lemah-lembut… sabar… niat yang baik…

Hhhh…

Lagi-lagi aku menghela nafas. Memang tidak semudah yang kau bayangkan. Seringkali aku  berjalan hampir seperempat perjalanan, dan kadang terhempas sampai ke tepian. Tak mudah…. sungguh… tapi ini berupa tantangan, amanah yang Allah berikan pada siapa pun yang menginginkan perubahan…

Betapa indah usaha itu bila dilakukan dengan hati yang lemah-lembut.. serta kesabaran yang begitu penuh rasa sayang… rasa sayang yang berlandaskan cinta pada Allah… pada  Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam… Subhanallah…

Coba kita renungkan sejenak, saudaraku sayang…

Tangisan semakin kencang terdengar

Menggelegar dalam ruang penuh denotasi

Bisa apa jiwa yang seperti ini?

Berlindung pada udara tipis yang hampir habis

Air mata mereka mungkin sudah mengering

Menjadi benih-benih kristal yang memabukkan

Perih, sungguh aku tak tahan

Sedih, sungguh aku ingin berpaling

Lama aku ratapi tatapan-tatapan gundah

Dari wajah sendu dan parah

Ronanya lenyap hingga pucat

Pucat dalam tubuh ringkihnya!!

Cintailah mereka dengan menyisihi do’a di setiap akhir shalat kita…

Hingga nanti kau kan perlahan berbisik…

Ana Uhibbukum fillah…

[midnight, 2004]

Di pangkuan kalian mereka tumbuh…

Posted: September 24, 2009 in Cermin

Bergumul dalam dunia anak-anak, remaja, hingga dewasa, tentunya membuat aku menjadi jauh lebih peka daripada sebelumnya. Tidak ada yang berubah, karena sedari remaja pun aku sudah dijejali dengan pelbagai kisah mengharubiru dari kawan2, tak ada bedanya dengan saat ini, yang berbeda hanyalah berkembangnya persepsi aku terhadap permasalahan-permasalahan itu. Tulisan ini sengaja ku muat dikarenakan perihnya hati menampung berbagai spketrum warna kesedihan yang terlampau timpang dari kisah yang satu ke yang lainnya. Kisah beraroma tangis yang aku tak punya sedikitpun kapasitas untuk mengobatinya. Kisah yang InsyaAllah bermanfaat bagi para ayahanda dan ibunda seantero jagat raya. Maka disinilah aku, mencoba berbagi rasa, bahwa ternyata masih banyak diantara mereka yang butuh cinta kita.

Anak-anak yang dianugerahkan Allah sebagai nikmat, membawa konsekuensi berupa tanggungjawab yang sangat besar terhadap orang tua, berupa kewajiban dalam mengasuh, mendidik, serta memberi hak-hak mereka sebagaimana yang telah ditetapkan Allah. Namun sayangnya, banyak diantara orangtua yang hampir atau bahkan terlanjur lalai mendidik anak2, terutama mereka yang hidup di era kapitalis seperti ini. Anak-anak kehilangan makna hidup serta status mereka. bahkan diantara mereka banyak yang memiliki kecerdasan akademis luar biasa namun NOL besar dalam hal agamis, argumen mereka bertendensi menjatuhkan akal serta keyakinan yang seyogyanya telah mereka emban sedari kecil.

Aku jadi teringat perbincanganku dengan muridku yang benar menohok aku. Ia saat itu bertanya tentang keberadaan Allah

“Allah dimana kak? Allah tu gak ada ya Kak?” Astaghfirullah, sebegitu datarnya kah dirimu, dhe… padahal kamu sudah begitu matang. Akhirnya ku coba analogikan pada sebuah simulasi yang sederhana

“Dhe, apa yang kamu hirup sekarang?”

“udara, kak?”

“Adakah terlihat dan terasa olehmu udara itu, sayang?” (sambil ku genggam tangannya dan ku ajak ia untuk merasakan udara itu)

“Nggak kak, gak keliatan” “Begitupun Allah, dhe.. Allah tidak bisa dilihat oleh kita , namun hadirnya bisa kita rasakan, bukan? Coba deh kamu perhatikan, alam seindah itu dari mana datangnya?”

“Allah, kak…” Ia pun hanya mengangguk2 dengan polosnya..

Allahubakbar, separah inikah realita yang ada sekarang. Saat ia yang ketika beranjak dewasa memiliki sebuah prinsip untuk bertahan dalam keras nya rimba dunia, tapi ia tak punya.

Kemudian, semakin lama aku perhatikan, akupun menyimak bahwasanya anak2 memiliki batas kendali yang masing-masing berbeda. Ada diantara mereka yang dengan kuatnya menghadapi kerasnya ujian dengan canda tawa, dan ia sadar bahwa petaka itu begitu berat bagi dirinya dan ia harus bisa menyikapinya dengan tenang. Bahkan ia berusaha melindungi orang yang paling ia sayangi.

“Kalau aku tak kuat, aku tak bisa seperti ini kak… “ ujar bocah laki-laki 13 tahun suatu kali

“Hhmm.. kamu cerdas, dhe.. kamu kuat.. subhanallah…”

Tapi ada pula yang indranya sudah terlalu kebas untuk merasakan sakit dan perihnya siksa. Hingga saat ku minta ia menggambar di secarik kertas putih. Hasilnya pun luar biasa mencengangkan! Goresannya menyiratkan betapa terluka dirinya, betapa tak ada keindahan serta halus di dalamnya, ia kesakitan, begitu terluka, bahkan seringkali ia berucap. “

Coba deh, kalo mau cubit, cubit aja… mau pukul, pukul aja…gak sakit kok”

Allahuakbar.. ia mengucapkannya begitu datar dan tak peduli. Duhai adikku sayang, betapa engkau sungguh telah terluka… kakak sayang kamu, dhe…

Disebutkan dalam kitabnya ‘Ensiklopedia Pendidikan Anak’ (judul asli: Fiqh Tarbiyatil Abnaa’ wa Thaaifatun min Nashaaihil Athibbaa’), Mushthafa Al-‘Adawi berkata bahwasanya kebaikan dan amal shalih kedua orang tua memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan seorang anak dan bermanfaat bagi mereka, baik dunia maupun di akhirat. Demikian pula amal buruk dan dosa-dosa besar yang dilakukan oleh kedua orang tua memiliki dampak negatif terhadap pendidikan anak.

Maka berbuatlah yang baik di hadapan mereka, jangan tampakkan sedikit pun kekasaran yang dapat membuat mereka terluka. Selain daripadanya, hendaklah jabatan serta prestis tidak membuat para orang tua lupa dalam mengasihi anak-anaknya. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam pun sangat menyayangi anak-anak betapapun mulianya kedudukan beliau di kalangan ummatnya.

Dari ‘Aisyah, beliau berkata “Seorang badui datang kepada Nabi dan berkata ‘Engkau mencium anak-anak kecil sedangkan kami tidak menciumnya,’ lalu Nabi berkata ‘Aku sama sekali tidak kuasa atas kalian jika Allah mencabut rasa kasih sayang dari hati kalian.” (HR Bukhari Muslim)

Kedua orang tua harusnya mengajarkan tidak hanya ilmu dunia, melainkan ilmu agama yang berkaitan dengan ‘aqidah, ibadah, muamalah, akhlaq, dan berbagai hal yang diterangkan Al-Qur’an dan Sunnah. Karena apabila seorang anak telah terdidik dengan baik, maka keduanya akan mendapat ganjaran amal yang terus mengalir bahkan setelah keduanya meninggal kelak.

Rasulullah telah bersabda: “Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga hal: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya. “ (HR. Muslim)

Maka, jangan sia-siakan detik-detik bersama mereka.. Mereka adalah karunia terbesar serta harta yang paling berharga.. kasihi mereka karena “Sesungguhnya kelembutan itu tidaklah dia ada pada sesuatu melainkan akan menghiasinya, dan tidaklah dicabut darinya melainkan akan memperjeleknya.” (HR Muslim)

Ayah… Bunda… di pangkuan kalian generasi ini tumbuh… Sinarilah mereka dengan hangatnya pancaran kasih sayangmu… Semaikanlah bibit keimanan dalam dada mereka…. Sungguh… mereka selalu butuh cinta itu….

Wallahu’alam…

Maraji’: 1. Fiqh Tarbiyatil Abnaa’ wa Thaaifatun min Nashaaihil Athibbaa’ (Ensiklopedia Pendidikan anak ), Mushthafa Al-‘Adawi 2. Majalah keluarga Islami “Nikah”, Volume 6, Mei 2007.

‘Cover both sides’ itu penting, bro!

Posted: September 24, 2009 in Cermin

timbanganTerkadang banyak mereka yang ingin menjadi penengah melulu mengaitkan perasaan dalam setiap tindakannya. Memang selalu ada pro’s dan con’s dalam setiap masalah. Tapi bilamana diminta, secara langsung maupun tidak, untuk menjadi penengah, maka anda harus ‘cover both sides’! Netral, berimbang dan tidak memihak.

Percuma bila anda mengenakan label sebagai penengah, tapi akhirnya malah menjatuhkan diri sebagai pecundang, beralih dari sumber yang satu ke sumber lainnya tanpa menyaring dan menarik silogisme yang pantas.

Seyogyanya, apabila anda melihat perselisihan yang terjadi diantara saudara anda, dan anda berniat atau (sekali lagi) diminta secara langsung ataupun tidak, maka temui ia agar permasalahan yang ada menjadi baik, jelas dan gamblang. Tidak tepat sekiranya ada pemberitaan buruk dari pihak pertama, lalu anda bertanya pada pihak kedua, dan anda menceritakan apa-apa yang dikatakan pihak kedua pada pihak pertama tanpa ada perembesan masalah. Alih-alih akan membaik, hal itu justru meruncing perpecahan.

Sadarilah bahwasanya kurangnya ‘cover both sides’ a.k.a tabayyun (mencari kejelasan/klarifikasi), berbicara sembarangan, terkikisnya sifat amanah memang menjadi realita yang sudah semakin merebak. Lalu dimanakah letak etikanya??

Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman :
“Artinya : Katakanlah : “Apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang–orang yang paling merugi perbuatannya ?” Yaitu orang–orang yang telah sia–sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik–baiknya” [Al–Kahfi: 103–104]

Wallahu’alam….

Semoga selalu menjadi manusia yang lebih baik dari hari ke hari…